Selasa, 18 Desember 2012

Peraturan Mengenai Barang Jasa Kena Pajak





PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 10/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka menstabilkan harga pangan pokok berupa gandum dan tepung gandum/terigu yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, perlu ditempuh kebijakan berupa Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah atas impor dan/atau penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu;
b.         bahwa untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor dan/atau Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN GANDUM DAN TEPUNG GANDUM/TERIGU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dibayar oleh Pemerintah dengan pagu anggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2008.

Pasal 2
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas impor dan/atau penyerahan dalam negeri gandum (Pos Tarif 1001.10.00.00) dan tepung gandum/terigu (Pos Tarif 1101.00.10.00) oleh Pengusaha Kena Pajak ditanggung Pemerintah.

Pasal 3
(1)        Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor gandum dan tepung gandum/terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(2)        Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK-10/PMK.011/2008" pada Surat Setoran Pajak.
(3)        Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan Daftar Jumlah Pajak Ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya triwulan.

Pasal 4
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan gandum dan tepung gandum/terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 10/PMK.011/2008".

Pasal 5
Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktur Jenderal Perbendaharaan diinstruksikan untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 14/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG CURAH DI DALAM NEGERI



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang:
a.         bahwa dalam rangka meringankan beban masyarakat perlu melanjutkan kebijakan stabilisasi harga minyak goreng;
b.         bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi minyak goreng dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa dan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Curah Di Dalam Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG CURAH DI DALAM NEGERI.

Pasal 1
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak dibayar oleh Pemerintah.

Pasal 2
Minyak goreng curah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah minyak goreng sawit curah dan tidak bermerek.

Pasal 3
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng curah di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 14/PMK.011/2008".

Pasal 4
Tata cara penatausahaan perpajakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Curah di dalam Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 15/PMK.011/2008 TANGGAL 4 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DALAM KEMASAN DI DALAM NEGERI



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri perlu menetapkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai dibayar oleh Pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri;
b.         bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi minyak goreng dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya;
c.         bahwa dan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibayar oleh Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Dalam Kemasan di Dalam Negeri;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DIBAYAR OLEH PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DALAM KEMASAN DI DALAM NEGERI.

Pasal 1
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak dibayar oleh Pemerintah.

Pasal 2
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 15/PMK.011/2008".

Pasal 3
Tata cara penatausahaan perpajakan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           4 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 25/PMK.011/2008 TANGGAL 8 FEBRUARI 2008
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN DALAM NEGERI GANDUM POS TARIF 1001.90.19.00



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka menstabilkan harga pangan pokok berupa gandum yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, perlu ditempuh kebijakan berupa Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah atas impor dan/atau penyerahan dalam negeri gandum;
b.         bahwa untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dianggarkan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 dan perubahannya,
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor dan/atau Penyerahan Dalam Negeri Gandum Pos Tarif 1001.90.19.00;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3.         Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4778);
4.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

 MEMUTUSKAN:

Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN DALAM NEGERI GANDUM POS TARIF 1001.90.19.00.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dibayar oleh Pemerintah dengan pagu anggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2008.

Pasal 2
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas impor dan/atau penyerahan dalam negeri gandum Pos Tarif 1001.90.19.00 oleh Pengusaha Kena Pajak ditanggung Pemerintah.

Pasal 3
(1)        Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor gandum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(2)        Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK-25 /PMK.011/2008" pada Surat Setoran Pajak.
(3)        Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan Daftar Jumlah Pajak Ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya triwulan.

Pasal 4
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan dalam negeri gandum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 25/PMK.011/2008".

Pasal 5
Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktur Jenderal Perbendaharaan diinstruksikan untuk melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 6
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           8 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 28 TAHUN 2009 TANGGAL 24 MARET 2009
TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing, untuk melaksanakan perjanjian internasional mengenai pelayanan jasa transportasi udara, dan untuk memberikan kemudahan dan kepastian perlakuan perpajakan terhadap perusahaan angkutan udara niaga yang mengoperasikan pesawat udara untuk penerbangan luar negeri, perlu memberikan kemudahan berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu kepada perusahaan angkutan udara niaga untuk pengoperasian pesawat udara yang melakukan penerbangan luar negeri;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf b Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kebandarudaraan Tertentu kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga untuk Pengoperasian Pesawat Udara yang Melakukan Penerbangan Luar Negeri;

Mengingat         :
1.         Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI.

Pasal 1
(1)        Penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu oleh penyelenggara bandar udara kepada perusahaan angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan penerbangan luar negeri dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
            a.         untuk pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional yang melakukan angkutan udara luar negeri harus memenuhi syarat tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia;
            b.         untuk pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing harus memenuhi syarat sebagai berikut:
                        1)         tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia; dan
                        2)         negara tempat kedudukan wajib pajak yang mengoperasikan pesawat udara tersebut juga memberikan perlakuan sama terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional sesuai dengan asas timbal balik (reciprocal) berdasarkan perjanjian mengenai pelayanan jasa transportasi udara yang telah diratifikasi.
(3)        Jasa kebandarudaraan yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
            a.         pelayanan jasa penerbangan;
            b.         pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara;
            c.         pelayanan jasa konter;
            d.         pelayanan jasa garbarata (aviobridge); dan/atau
            e.         pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos.
(4)        Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai.
(5)        Pajak masukan yang dibayar oleh penyelenggara Bandar udara untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak berkenaan dengan penyerahan jasa kebandarudaraan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Pasal 2
(1)        Penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu oleh penyelenggara bandar udara kepada perusahaan angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan penerbangan luar negeri yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)        Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberi cap atau keterangan yang bertuliskan “PPN dibebaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009”.

Pasal 3
(1)        Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) tidak terpenuhi, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu kepada perusahaan angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan penerbangan luar negeri yang dibebaskan, wajib dibayar dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal persyaratan tersebut tidak terpenuhi.
(2)        Apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan tidak dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 4
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           24 Maret 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 57


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 20092008

TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN
JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN
UDARA NIAGA UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA
YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI

I.          UMUM
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menentukan bahwa suatu fasilitas Pajak Pertambahan Nilai hanya dapat diberikan apabila memang benar-benar diperlukan, yang diberlakukan dengan berpegang teguh pada prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak sejenis berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Fasilitas perpajakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan terbatas untuk menampung perjanjian mengenai pelayanan transportasi udara yang telah diratifikasi. Adapun fasilitas yang diberikan adalah pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa kebandarudaraan oleh penyelenggara bandar udara kepada perusahaan angkutan udara niaga. Fasilitas tersebut dibatasi hanya untuk penyerahan jasa pelayanan pesawat udara yang melakukan penerbangan luar negeri yang meliputi pelayanan jasa penerbangan, pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara, pelayanan jasa konter, pelayanan jasa garbarata (aviobridge), pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos, berdasarkan asas timbal balik (reciprocal) yang sudah menjadi kelaziman internasional.

II.          PASAL DEMI PASAL
            Pasal 1
                        Ayat (1)
                                    Yang dimaksud dengan “penerbangan luar negeri” adalah penerbangan dari bandar udara di dalam negeri dengan atau tanpa melakukan transit di bandar udara lainnya di dalam negeri ke bandar udara di luar negeri atau sebaliknya.
                                    Yang dimaksud dengan “perusahaan angkutan udara niaga” adalah perusahaan yang melakukan kegiatan angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
                                    Yang dimaksud dengan “penyelenggara bandar udara” adalah pengusaha yang melakukan usaha di bidang kebandarudaraan.
                                    Yang dimaksud dengan “jasa kebandarudaraan” adalah jasa yang diberikan oleh penyelenggara jasa kebandarudaraan kepada pengguna jasa bandar udara.
                        Ayat (2)
                                    Huruf a
                                                Yang dimaksud dengan “perusahaan angkutan udara niaga nasional” adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha angkutan udara niaga yang telah memiliki izin dari Departemen Perhubungan.
                                                Yang dimaksud dengan “tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia” adalah tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dalam negeri.
                                    Huruf b
                                                Yang dimaksud dengan “perusahaan angkutan udara niaga asing” adalah perusahaan angkutan udara niaga yang mempunyai bentuk usaha tetap atau yang tidak mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia.
                                    Angka 1)
                                                Yang dimaksud dengan “tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia” adalah tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dalam negeri.
                                    Angka 2)
                                                Cukup jelas.
                        Ayat (3)
                                    Huruf a
                                                Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa penerbangan” yang disingkat PJP (Route Air Navigation Service) adalah pelayanan yang diberikan kepada penerbangan luar negeri termasuk penerbangan lintas batas (border crossing flight) dan penerbangan lintas (over flying).
                                    Huruf b
                                                Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara yang disingkat PJP4U adalah penyediaan dan penggunaan fasilitas untuk pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara seperti landasan, apron, lighting, marking, instrument landing system, marker, dan locator.
                                    Huruf c
                                                Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa konter” adalah penyediaan dan pemakaian berupa tempat pelaporan, komputer, common use check in counter system, conveyor belt, dan penimbangan barang penumpang di bandar udara.
                                    Huruf d
                                                Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa garbarata (aviobridge)” adalah penyediaan dan pemakaian fasilitas garbarata untuk naik dan turunnya penumpang dari ruang tunggu ke pesawat udara atau sebaliknya.
                                    Huruf e
                                                Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos” adalah pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara bandar udara atau pihak ketiga untuk melayani bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos dari dan ke pesawat udara.
                        Ayat (4)
                                    Cukup jelas.
                        Ayat (5)
                                    Cukup jelas.

            Pasal 2
Cukup jelas.

            Pasal 3
                        Cukup jelas.

            Pasal 4
                        Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4994



PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 30/PMK.03/2011 TANGGAL 28 PEBRUARI 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
   a.      bahwa untuk lebih memberikan kepastian perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang terkait dengan pemasukan dan pengeluaran barang dalam rangka ekspor Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen), perlu menyempurnakan ketentuan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai untuk Jasa Maklon termasuk ketentuan pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan ekspor barang hasil maklon sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
5.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
1.         Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
2.         Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
3.         Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
4.         Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
5.         Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
6.         Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dad Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
2.         Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1)        Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Makion dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Pajak Pertambahan Nilai atas:
a.         perolehan Barang Kena Pajak;
b.         perolehan Jasa Kena Pajak;
c.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
d.         pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
e.         impor Barang Kena Pajak,
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           28 Pebruari 2011

MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Pebruari 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 109



PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 31/PMK.03/2008 TANGGAL 19 FEBRUARI 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 TENTANG PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBEBASKAN ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah nomor 12 TAHUN 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
3.         Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 24 TAHUN 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4199);
4.         Peraturan Pemerintah nomor 12 TAHUN 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4083) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 31 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4726);
5.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
6.         Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Perolehan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2007;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/KMK.03/2001 TENTANG PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBEBASKAN ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang telah beberapa kali diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Peraturan Menteri Keuangan:
1.         Nomor 363/KMK.03/2002;
2.         Nomor 371/KMK.03/2003;
3.         Nomor 11/PMK.03/2007,
diubah sebagai berikut:
1.         Ketentuan Pasal 1 diubah dengan menambah 1 (satu) huruf pada angka 1 yakni huruf i dan menambah 2 (dua) angka yakni angka 5 dan angka 6, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
a.         barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang;
b.         makanan ternak, unggas dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan;
c.         barang hasil pertanian;
d.         bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
e.         dihapus;
f.          dihapus;
g.         air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
h.         listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan
i.          Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI).
2.         Barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
            a.         pertanian, perkebunan dan kehutanan;
            b.         peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
            c.         perikanan baik dari penangkapan atau budidaya;
            yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah nomor 7 TAHUN 2007.
3.         dihapus.
4.         dihapus.
5.         Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf i adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang' dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:
            a.         luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
                        b.         harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah);
c.         diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d.         pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan
e.         merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindah tangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
6.         Termasuk dalam pengertian Rusunami adalah Rusunami sebagaimana dimaksud pada angka 5 yang diserahkan kepada bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang memenuhi ketentuan:
a.         dibeli oleh bank dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan
b.         rumah tersebut harus dijual kembali kepada masyarakat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibeli.
2.         Ketentuan Pasal 4 diubah dengan menambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
            (1)        Atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, b, c, dan d dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
            (2)        Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf g dan h dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
            (3)        Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf i yang dilakukan oleh pengembang atau yang dilakukan oleh bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
3.         Ketentuan Pasal 5 ayat (6) diubah, dan diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
            (1)        Pengusaha Kena Pajak yang mengimpor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
            (2)        Orang pribadi atau badan yang melakukan impor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b, c, dan d, dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf g dan h tidak diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
            (2a)       Orang pribadi atau bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf i, tidak diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
            (3)        Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan dokumen impor dan/atau dokumen pembelian yang bersangkutan.
            (4)        Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai, Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.
            (5)        Atas Impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak diperlukan Surat Setoran Pajak.
            (6)        Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dibubuhi cap "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007" oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai."
4.         Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
            (1)        Orang atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib melaporkan usahanya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
            (2)        Menyimpang dari ketentuan pada ayat (1), terhadap orang atau badan yang semata-mata melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g atau huruf h, tidak diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
            (3)        Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007.
5.         Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 6A dan Pasal 6B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
            (1)        Pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) diberikan kepada Orang pribadi yang wajib memiliki atau membuat:
                        a.         Surat keterangan dari pemberi kerja mengenai besarnya penghasilan yang diterima setiap bulan, dalam hal pembeli adalah karyawan;
                        b.         Surat pernyataan mengenai besarnya penghasilan yang diterima setiap bulan, dalam hal pembeli melakukan pekerjaan bebas; dan
                        c.         Surat pernyataan bahwa rumah tersebut adalah unit hunian pertama yang dimiliki dan digunakan sendiri sebagai tempat tinggal.
            (2)        Dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah pada saat mengajukan permohonan kredit pemilikan Rusunami.
Pasal 6B
            (1)        Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf i yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
            (2)        Jika pengembang atau bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
6.         Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
            (1)        Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak impor dan/atau perolehannya, maka Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis tersebut dialihkan penggunaannya atau dipindahtangankan.
            (2)        Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf i yang diserahkan kepada Orang pribadi, ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak perolehannya, maka Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis tersebut dialihkan penggunaannya atau dipindahtangankan.
            (3)        Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf i yang diserahkan kepada bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6, maka Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6.
            (4)        Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat-ayat tersebut.
            (5)        Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan."

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Mei 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           19 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 31/PMK.03/2011 TANGGAL 28 PEBRUARI 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 36/PMK.03/2007 TENTANG BATASAN RUMAH SEDERHANA, RUMAH SANGAT SEDERHANA, RUMAH SUSUN SEDERHANA, PONDOK BORO, ASRAMA MAHASISWA DAN PELAJAR, SERTA PERUMAHAN LAINNYA, YANG ATAS PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan bantuan pembiayaan perumahan, Pemerintah telah memberikan kebijakan berupa bantuan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan;
b.         bahwa dengan meningkatnya harga tanah dan bangunan, pemberian fasilitas perpajakan atas rumah sederhana dan rumah sangat sederhana dengan dasar harga rumah menjadi tidak memadai lagi, sehingga perlu dilakukan penyesuaian batasan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang dapat diberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai;
c.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
3.         Peraturan Pemerintah nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 262, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4064) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 TAHUN 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4302);
4.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
5.         Keputusan Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu;
6.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 36/PMK.03/2007, TENTANG BATASAN RUMAH SEDERHANA, RUMAH SANGAT SEDERHANA, RUMAH SUSUN SEDERHANA, PONDOK BORO, ASRAMA MAHASISWA DAN PELAJAR, SERTA PERUMAHAN LAINNYA, YANG ATAS PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.

Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, dengan mengubah ayat (1) dan menghapus ayat (2), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1)        Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
a.         luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
b.         harga jual tidak melebihi Rp70.000.000,00(tujuh puluh juta rupiah); dan
c.         merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
(2)        Dihapus.

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           28 Pebruari 2011

MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Pebruari 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 110




PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 35/PMK.03/2008 TANGGAL 26 FEBRUARI 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH



MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing dan untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi industri perhiasan nasional perlu dilakukan penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap barang berupa perhiasan yang mengandung mutiara, intan, batu mulia (selain intan) atau batu semi mulia;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
2.         Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

Pasal I
Mengubah Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           26 Februari 2008

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009 TANGGAL 15 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang       :
a.         bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b.         bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat         :
1.         Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 5 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a.         Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
b.         Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai berikut:
1.         Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
            Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
            1.         Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2.         Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3.         Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4.         Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5.         Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
            6.         Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
            7.         Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
            8.         Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9.         Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10.        Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11.        Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12.        Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13.        Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14.        Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15.        Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16.        Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17.        Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18.        Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19.        Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20.        Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21.        Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22.        Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23.        Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24.        Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25.        Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26.        Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27.        Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28.        Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29.        Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2.         Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1)        Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a.         penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b.         pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c.         penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d.         pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e.         Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f.          penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g.         penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h.         penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2)        Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a.         penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b.         penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c.         penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d.         pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e.         Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
3.         Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1)        Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a)       Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2)        Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)        Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4.         Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
            (1)        Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a.         penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
                        b.         impor Barang Kena Pajak;
                        c.         penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.         pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f.          ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g.         ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
                        h.         ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2)        Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5.         Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
            (1)        Dihapus.
            (2)        Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a.         barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b.         barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c.         makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
                        d.         uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3)        Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
                        a.         jasa pelayanan kesehatan medis;
                        b.         jasa pelayanan sosial;
                        c.         jasa pengiriman surat dengan perangko;
                        d.         jasa keuangan;
                        e.         jasa asuransi;
                        f.          jasa keagamaan;
                        g.         jasa pendidikan;
                        h.         jasa kesenian dan hiburan;
                        i.          jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
                        j.          jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
                        k.         jasa tenaga kerja;
                        l.          jasa perhotelan;
                        m.        jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
                        n.         jasa penyediaan tempat parkir;
                        o.         jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
                        p.         jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
                        q.         jasa boga atau katering.
6.         Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1)        Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
a.         penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
                        b.         impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2)        Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
7.         Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1)        Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2)        Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
(3)        Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
8.         Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
            (1)        Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
            (2)        Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
                        a.         ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
                        b.         ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
                        c.         ekspor Jasa Kena Pajak.
(3)        Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.         Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1)        Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2)        Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3)        Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)        Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10.        Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1)        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
(2)        Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11.        Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
            (1)        Dihapus.
            (2)        Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a)       Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b)      Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3)        Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4)        Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a)       Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b)      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a.         Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.         Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c.         Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d.         Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e.         Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f.          Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c)       Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d)      Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e)       Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(4f)       Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(5)        Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6)        Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a)       Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b)      Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7)        Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a)       Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b)      Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(8)        Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a.         perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.         perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c.         perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
                        e.         dihapus;
                        f.          perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h.         perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i.          perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
j.          perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9)        Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
            (10)       Dihapus.
            (11)       Dihapus.
            (12)       Dihapus.
            (13)       Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14)       Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12.        Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
            (1)        Terutangnya pajak terjadi pada saat:
                        a.         penyerahan Barang Kena Pajak;
                        b.         impor Barang Kena Pajak;
                        c.         penyerahan Jasa Kena Pajak;
                        d.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e.         pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
                        f.          ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
                        g.         ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
                        h.         ekspor Jasa Kena Pajak.
(2)        Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
            (3)        Dihapus.
            (4)        Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
            (5)        Dihapus.
13.        Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1)        Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2)        Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3)        Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4)        Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14.        Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
            (1)        Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a.         penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b.         penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c.         ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d.         ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
            (1a)       Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a.         saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b.         saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.         saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.         saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2)        Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a)       Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
            (3)        Dihapus.
            (4)        Dihapus.
            (5)        Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a.         nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.         nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c.         jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
                        d.         Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
                        e.         Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.          kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.         nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6)        Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
            (7)        Dihapus.
            (8)        Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
            (9)        Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15.        Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1)        Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
(2)        Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
16.        Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1)        Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a.         kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b.         penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
                        c.         impor Barang Kena Pajak tertentu;
                        d.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e.         pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
                        diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)        Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3)        Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
17.        Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18.        Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16E
(1)        Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2)        Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.         nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b.         pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c.         Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3)        Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4)        Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
                        a.         paspor;
                        b.         pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
c.         Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5)        Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

PASAL II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di       :           Jakarta
pada tanggal     :           15 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
            ttd
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

I.          UMUM
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
            Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut:
            1.         Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
            Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2.         Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai.
            Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
            3.         Mengurangi biaya kepatuhan.
                        Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
            4.         Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
            5.         Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
            6.         Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.

II.          PASAL DEMI PASAL
            Pasal I
                        Angka 1
                                    Pasal 1
                                                Cukup jelas.
                        Angka 2
                                    Pasal 1A
                                                Ayat (1)
                                                            Huruf a
Yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
                                                            Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
                                                            Huruf c
Yang dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
                                                            Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
                                                            Huruf e
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.
                                                            Huruf f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
                                                            Huruf g
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
                                                            Huruf h
                                                                        Contoh:
                                                                        Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
                                                Ayat (2)
                                                            Huruf a
Yang dimaksud dengan "makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
                                                            Huruf b
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat pajak terutang.
                                                            Huruf d
Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
                                                            Huruf e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
                        Angka 3
                                    Pasal 3A
                                                Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a.         melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
                                                            b.         memungut pajak yang terutang;
                                                            c.         menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
                                                            d.         melaporkan penghitungan pajak.
                                                            Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
                                                Ayat (1a)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (2)
Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang in! berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
                                                Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
                        Angka 4
                                    Pasal 4
                                                Ayat (1)
                                                            Huruf a
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.         barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b.         barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c.         penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d.         penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
                                                            Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
                                                            Huruf c
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.         jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b.         penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c.         penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
                                                            Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
                                                                        Contoh:
                                                                        Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
                                                            Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
                                                            Huruf f
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
                                                            Huruf g
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah:
1.         penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2.         penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3.         pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4.         pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a)         penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b)         penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c)         penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5.         penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6.         pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
                                                            Huruf h
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
                                                Ayat (2)
                                                            Cukup jelas.
                        Angka 5
                                    Pasal 4A
                                                Ayat (1)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (2)
                                                            Huruf a
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
                                                                        a.         minyak mentah (crude oil);
                                                                        b.         gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
                                                                        c.         panas bumi;
                                                                        d.         asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e.         batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f.          bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
                                                            Huruf b
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
                                                                        a.         beras;
                                                                        b.         gabah;
                                                                        c.         jagung;
                                                                        d.         sagu;
                                                                        e.         kedelai;
                                                                        f.          garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g.         daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h.         telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i.          susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j.          buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k.         sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
                                                            Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
                                                            Huruf d
                                                                        Cukup jelas.
                                                Ayat (3)
                                                            Huruf a
                                                                        Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
                                                                        1.         jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
                                                                        2.         jasa dokter hewan;
                                                                        3.         jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
                                                                        4.         jasa kebidanan dan dukun bayi;
                                                                        5.         jasa paramedis dan perawat;
                                                                        6.         jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
                                                                        7.         jasa psikolog dan psikiater; dan
                                                                        8.         jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
                                                            Huruf b
                                                                        Jasa pelayanan sosial meliputi:
                                                                        1.         jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
                                                                        2.         jasa pemadam kebakaran;
                                                                        3.         jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
                                                                        4.         jasa lembaga rehabilitasi;
                                                                        5.         jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
                                                                        6.         jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
                                                            Huruf c
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
                                                            Huruf d
                                                                        Jasa keuangan meliputi:
                                                                        1.         jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
                                                                        2.         jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
                                                                        3.         jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
                                                                                    a)         sewa guna usaha dengan hak opsi;
                                                                                    b)         anjak piutang;
                                                                                    c)         usaha kartu kredit; dan/atau
                                                                                    d)         pembiayaan konsumen;
                                                                        4.         jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
                                                                        5.         jasa penjaminan.
                                                            Huruf e
Yang dimaksud dengan ”jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
                                                            Huruf f
                                                                        Jasa keagamaan meliputi:
                                                                        1.         jasa pelayanan rumah ibadah;
                                                                        2.         jasa pemberian khotbah atau dakwah;
                                                                        3.         jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
                                                                        4.         jasa lainnya di bidang keagamaan.
                                                            Huruf g
                                                                        Jasa pendidikan meliputi:
                                                                        1.         jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
                                                                        2.         jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
                                                            Huruf h
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
                                                            Huruf i
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
                                                            Huruf j
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf k
                                                                        Jasa tenaga kerja meliputi:
                                                                        1.         jasa tenaga kerja;
                                                                        2.         jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
                                                                        3.         jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
                                                            Huruf l
                                                                        Jasa perhotelan meliputi:
                                                                        1.         jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
                                                                        2.         jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
                                                            Huruf m
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
                                                            Huruf n
Yang dimaksud dengan ”jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
                                                            Huruf o
Yang dimaksud dengan ”jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
                                                            Huruf p
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf q
                                                                        Cukup jelas.
                        Angka 6
                                    Pasal 5
                                                Ayat (1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
a.         perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b.         perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c.         perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
                                                            d.         perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
                                                            Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:
                                                            1.         barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
                                                            2.         barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
                                                            3.         barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
                                                            4.         barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a.         merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b.         memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c.         mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d.         mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
e.         membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
                                                Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:
a.         penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
                                                            b.         impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
                                                            Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
                        Angka 7
                                    Pasal 5A
                                                Ayat (1)
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:
a.         Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b.         biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c.         biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
                                                Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan" adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a.         Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b.         biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c.         biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                        Angka 8
                                    Pasal 7
                                                Ayat (1)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu:
                                                            a.         Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
                                                            b.         Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c.         Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan Oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
                                                Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
                        Angka 9
                                    Pasal 8
                                                Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
                                                Ayat (2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
                                                Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.
                                                Ayat (4)
                                                            Cukup jelas.
                        Angka 10
                                    Pasal 8A
                                                Ayat (1)
Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut.
                                                            Contoh:
                                                            a.         Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b.         Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c.         Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d.         Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
                                                Ayat (2)
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
a.         Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b.         penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
                        Angka 11
                                    Pasal 9
                                                Ayat (1)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
                                                Ayat (2a)
Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
                                                Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
                                                            Contoh:
                                                            Masa Pajak Mei 2010
                                                            Pajak Keluaran                          =          Rp2.000.000,00
                                                            Pajak Masukan yang dapat        =          Rp4.500.000,00
                                                            dikreditkan
                                                                                                                        ------------------- (-)
                                                            Pajak yang lebih dibayar                        =          Rp2.500.000,00
                                                            Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
                                                            Masa Pajak Juni 2010
                                                            Pajak Keluaran                          =          Rp3.000.000,00
                                                            Pajak Masukan yang dapat
                                                            dikreditkan                                =          Rp2.000.000,00
                                                                                                                        ------------------- (-)
                                                            Pajak yang kurang dibayar         =          Rp1.000.000,00
                                                            Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak
                                                            Mei 2010 yang dikompensasikan ke
                                                            Masa Pajak Juni 2010                =          Rp2.500.000,00
                                                                                                                        ------------------- (-)
                                                            Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak
                                                            Juni 2010                                  =          Rp1.500.000,00
                                                            Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
                                                Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
                                                Ayat (4b)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4c)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4d)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
                                                Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
                                                Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
                                                            Contoh:
                                                            Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a.         penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
                                                                        Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
                                                            b.         penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
                                                                        Pajak Keluaran = nihil
c.         penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
                                                                        Pajak Keluaran = nihil
                                                            Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
                                                            a.         Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00
 b.        Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c.         Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
 Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.
                                                Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
a.         penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
                                                                        Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
b.         penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
                                                                        Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
                                                Ayat (6a)
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.
                                                Ayat (6b)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (7)
Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
                                                Ayat (7a)
Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
                                                Ayat (7b)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
                                                            Huruf a
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
                                                                        Contoh:
                                                                        Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
                                                            Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
                                                            Huruf c
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf d
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
                                                                        Contoh:
                                                                        Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
                                                            Huruf e
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf f
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf g
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf h
Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
                                                            Huruf i
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:
                                                                        Pajak Keluaran = Rp 10.000.000,00
                                                                        Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
                                                                        Dari hasil pemeriksaan diketahui:
                                                                        Pajak Keluaran = Rp 15.000.000,00
                                                                        Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
                                                                        Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
                                                                        Pajak Keluaran              =          Rp15.000.000,00
                                                                        Pajak Masukan              =          Rp 8.000.000,00
                                                                                                                        ------------------- (-)
                                                                        Kurang Bayar menurut
                                                                        hasil pemeriksaan          =          Rp 7.000.000,00
                                                                        Kurang Bayar menurut
                                                                        Surat Pemberitahuan     =          Rp 2.000.000,00
                                                                                                                        ------------------- (-)
                                                                        Masih kurang dibayar    =          Rp 5.000.000,00
                                                            Huruf j
                                                                        Cukup jelas.
                                                Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
                                                            Contoh:
                                                            Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.
                                                Ayat (10)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (11)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (12)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (13)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (14)
                                                            Cukup jelas.
                        Angka 12
                                    Pasal 11
                                                Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
                                                            Huruf a
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf b
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf c
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
                                                            Huruf e
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf f
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf g
                                                                        Cukup jelas.
                                                            Huruf h
                                                                        Cukup jelas.
                                                Ayat (2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (5)
                                                            Cukup jelas.
                        Angka 13
                                    Pasal 12
                                                Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
                                                            Contoh 1:
Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan di Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A mempunyai 3 (tiga) tempat Kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
                                                Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
                        Angka 14
                                    Pasal 13
                                                Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.
                                                Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
                                                Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.
                                                Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
                                                            Contoh 1:
                                                            Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.
                                                            Contoh 2:
                                                            Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.
                                                            Contoh 3:
                                                            Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September.
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.
                                                Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
                                                            Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
                                                            a.         faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b.         untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c.         terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
                                                Ayat (7)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.
                                                Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
                        Angka 15
                                    Pasal 15A
Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
                        Angka 16
                                    Pasal 16B
                                                Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a.         mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b.         menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
c.         mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
d.         menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e.         menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f.          meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
                                                            g.         mendorong pembangunan tempat ibadah;
                                                            h.         menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i.          mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j.          mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
                                                            k.         menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l.          mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
m.        membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
n.         menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o.         menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
                                                Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
                                                            Contoh:
                                                            Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
                                                Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
                                                            Contoh:
                                                            Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
                        Angka 17
                                    Pasal 16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
                        Angka 18
                                    Pasal 16E
                                                Ayat (1)
Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
                                                Ayat (2)
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
                                                Ayat (3)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (4)
                                                            Cukup jelas.
                                                Ayat (5)
                                                            Cukup jelas.
                                    Pasal 16F
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

PASAL II
            Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069


PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 62/PMK.03/2012 TANGGAL 26 APRIL 2012
TENTANG
TATA CARA PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang       :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (7), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (12) PERATURAN PEMERINTAH nomor 10 TAHUN 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
3.         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
4.         Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775);
5.         PERATURAN PEMERINTAH nomor 10 TAHUN 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5277);
6.         Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

 MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
2.         Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
3.         Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang selanjutnya disebut sebagai Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
4.         Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
5.         Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
6.         Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
7.         Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
8.         Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
9.         Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
10.        Endorsement adalah pernyataan mengetahui dari pejabat/ pegawai Direktorat Jenderal Pajak atas pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, berdasarkan penelitian formal atas dokumen yang terkait dengan pemasukan Barang Kena Pajak tersebut.

Pasal 2
(1)        Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Dalam hal Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas pengeluaran Barang Kena Pajak dimaksud terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)        Tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas, Tempat Penimbunan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
(4)        Saat terutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
(5)        Dasar Pengenaan Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
            a.         Harga Jual; atau
            b.         Harga Pasar Wajar dalam hal pengeluaran barang tersebut bukan dalam rangka transaksi jual beli.
(6)        Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang harus dipungut dan disetor ke kas negara oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak melalui kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(7)        Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diisi dengan cara:
            a.         pada kolom nama dan kolom Nomor Pokok Wajib Pajak diisi dengan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang menerima Barang Kena Pajak;
            b.         pada kolom Wajib Pajak/penyetor dicantumkan juga nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak.
(8)        Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
(9)        Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang dilampiri dengan invoice dan Pemberitahuan Pabean merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(10)       Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang dilampiri dengan invoice dan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (9), merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima Barang Kena Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3
(1)        Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk transaksi tertentu, yaitu:
            a.         Pengeluaran dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
                        1.         kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
                        2.         keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
                        3.         keperluan peragaan atau demonstrasi;
            b.         Pengeluaran kembali dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin dan/atau peralatan untuk:
                        1.         kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
                        2.         keperluan perbaikan, pengerjaan pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
                        3.         keperluan peragaan atau demonstrasi;
            c.         Pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
            d.         Pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
            e.         Pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilainya dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai; dan
            f.          Pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang (returnable package).
(2)        Batas waktu pemasukan kembali Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(3)        Batas waktu pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
(4)        Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib dilunasi oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang mengeluarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(5)        Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas.
(6)        Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak.
(7)        Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

Pasal 4
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atas pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas dikecualikan untuk pengeluaran Barang Kena Pajak dengan tujuan angkut terus atau angkut lanjut dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas untuk tujuan tempat lain dalam Daerah Pabean.

Pasal 5

(1)      Barang Kena Pajak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sepanjang telah dipenuhi kewajiban pabean sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan kepabeanan.
(2)      Termasuk dalam pemenuhan kewajiban pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyampaian Pemberitahuan Pabean yang dilampiri dengan:
            a.         invoice atau faktur penjualan atau dokumen penyerahan barang dalam hal barang tersebut bukan dalam rangka transaksi jual beli; dan
            b.         Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6).
(3)        Untuk pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, kewajiban melampirkan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diganti dengan melampirkan:
            a.         Pemberitahuan Pemasukan/Pengeluaran Barang Transaksi Tertentu (PPBTT) yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean terdaftar dan surat persetujuan keterangan asal barang dari Badan Pengusahaan Kawasan untuk pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b selain Barang Kena Pajak asal luar Daerah Pabean;
            b.         Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai untuk pengeluaran Barang Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan untuk mendapatkan fasilitas dimaksud harus dilengkapi/disertai dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai;
            c.         masterlist atau dokumen dengan nama lain yang mempunyai fungsi sama dengan masterlist untuk perusahaan kontraktor minyak dan gas bumi serta panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c.
(4)        Kewajiban untuk melampirkan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku untuk:
            a.         pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan bahwa untuk mendapatkan fasilitas dimaksud tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai;
            b.         pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e dan huruf f.
(5)        PPBTT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuat oleh pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukan sebagai berikut:
            a.         lembar ke-1 untuk pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean;
            b.         lembar ke-2 untuk pengusaha di Kawasan Bebas;
            c.         lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak di Kawasan Bebas melalui Unit Pelaksana Kawasan Bebas;
            d.         lembar ke-4 untuk Kantor Pabean di Kawasan Bebas;
            e.         lembar ke-5 untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha di Tempat Lain Dalam Daerah Paben terdaftar.
(6)        PPBTT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini dan tata cara pemberian persetujuan atas PPBTT di Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7)        Surat persetujuan keterangan asal barang dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
            a.         berisi pernyataan yang menerangkan bahwa Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas tersebut tidak berasal dari luar Daerah Pabean atau selama berada di Kawasan Bebas tidak ada komponen atau bagian dari Barang Kena Pajak tersebut berasal dari luar Daerah Pabean;
            b.         dibuat sebelum Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas;
            c.         dibuat dalam rangkap 6 (enam) dengan peruntukan sebagai berikut:
                        1.         lembar ke-1 untuk pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean;
                        2.         lembar ke-2 untuk pengusaha di Kawasan Bebas;
                        3.         lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak di Kawasan Bebas melalui Unit Pelaksana Kawasan Bebas;
                        4.         lembar ke-4 untuk Kantor Pabean di Kawasan Bebas;
                        5.         lembar ke-5 untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha tempat lain dalam Daerah Pabean terdaftar;
                        6.         lembar ke-6 untuk Badan Pengusahaan Kawasan.

Pasal 6
(1)        Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(3)        Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pada saat pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus.
(4)        Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terjadi pada saat:
            a.         harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
            b.         harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
            c.         harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar, baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya,
            yang terjadi lebih dahulu.
(5)        Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diketahui.
(6)        Dasar Pengenaan Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebesar harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak.
(7)        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Orang yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus pada saat pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5).
(8)        Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disetor ke kas negara oleh Orang yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di tempat lain dalam Daerah Pabean, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus melalui kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.
(9)        Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang dilampiri dengan invoice atau kontrak merupakan dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(10)       Dalam hal Orang yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang disetorkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang dilampiri dengan invoice atau kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.
(11)       Dalam hal Orang yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak lembar ke-3 wajib dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Orang tersebut.
(12)       Dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah penyerahan Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 7
(1)        Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(3)        Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 8
(1)        Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(3)        Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(4)        Dikecualikan dari ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada ayat (2) atas penyerahan jasa telekomunikasi yang menggunakan jaringan berkabel (fixed line) di Kawasan Bebas.

Pasal 9
Tata cara penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan pemenuhan kewajiban perpajakan atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 10
(1)        Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2)        Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)        Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(4)        Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(5)        Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
(6)        Penyerahan Jasa Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas yang penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(7)        Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(8)        Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(9)        Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah Jasa Kena Pajak yang batasan kegiatan dan jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(10)       Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(11)       Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilai dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Bahan Bakar Minyak bersubsidi.

Pasal 11
(1)        Atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(3)        Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat paling lambat pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas.
(4)        Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)        Atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) dan ayat (6) wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6)        Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) harus diberi cap “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012” oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
(7)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan pemasukan kembali Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.

Pasal 12
(1)        Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diberikan sepanjang Barang Kena Pajak Berwujud tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas yang dibuktikan dengan dokumen yang telah diberikan Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2)        Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pemberitahuan Pabean yang telah didaftarkan pada kantor pabean, yang dilampiri dengan:
            a.         fotokopi Faktur Pajak (lembar pembeli);
            b.         fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order; dan
            c.         fotokopi invoice.
(3)        Dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b adalah Pemberitahuan Pabean yang telah didaftarkan pada Kantor Pabean, yang dilampiri dengan:
            a.         PPBTT yang telah disetujui oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean terdaftar beserta lampirannya; dan
            b.         fotokopi Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order.
(4)        Penyampaian lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan menunjukkan dokumen aslinya.
(5)        Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean dilakukan oleh pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, dokumen yang harus disampaikan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan surat kuasa dari pengusaha yang melakukan pemasukan Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas.
(6)        Dalam hal Pemberitahuan Pabean tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement, Barang Kena Pajak tetap dapat dikeluarkan dari pelabuhan/bandar udara yang ditunjuk dan atas pemasukan Barang Kena Pajak tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut.
(7)        Dalam hal Pemberitahuan untuk pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b tidak sesuai dengan dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam rangka Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Barang Kena Pajak tetap dapat dikeluarkan dari pelabuhan/bandar udara yang ditunjuk dan atas pemasukan Barang Kena Pajak tersebut tidak termasuk transaksi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b.
(8)        Tata cara Endorsement oleh pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(9)        Penugasan pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melakukan Endorsement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Kantor Pabean ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 13
Ketentuan mengenai tata cara:
1.         pengeluaran dan pelunasan pajak terutang atas Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a asal luar Daerah Pabean;
2.         pemasukan dan pengeluaran pengemas yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f; dan
3.         pengeluaran Barang Kena Pajak dengan tujuan angkut terus atau angkut lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam:
a.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai dan perubahannya; dan
b.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.04/2012 tentang Pemberitahuan Pabean Dalam Rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan perubahannya.

Pasal 14
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2009, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           26 April 2012

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 462


  

PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 70/PMK.03/2010 TANGGAL 31 MARET 2010
TENTANG
BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.         Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4.         Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1.         Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
2.         Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
3.         Jasa Maklon adalah jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
4.         Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
5.         Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
6.         Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pasal 2
(1)        Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2)        Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(3)        Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 0% (nol persen).
(4)        Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Penggantian.

Pasal 3
Batasan kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
a.         untuk Jasa Maklon:
            1.         pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya;
            2.         spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;
            3.         bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan;
            4.         kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan
            5.         pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
b.         untuk selain Jasa Maklon:
            1.         jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
            2.         jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Pasal 4
Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
a.         Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a;
b.         jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 1;
c.         jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2.

Pasal 5
(1)        Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2)        Saat Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.

Pasal 6
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan, atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7
(1)        Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2)        Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3)        Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 8
(1)        Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2)        Pajak Pertambahan Nilai atas:
            a.         perolehan Barang Kena Pajak;
            b.         perolehan Jasa Kena Pajak;
            c.         pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
            d.         pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan/atau
            e.         impor Barang Kena Pajak,
            yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor Jasa Maklon, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 9
Terhadap ekspor Jasa Kena Pajak baik sebagian atau seluruhnya yang dilakukan sebelum tanggal 1 April 2010, dan Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan pada atau setelah tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.04/1989 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak Selain Jasa yang Dilakukan oleh Pemborong, Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri dan Jasa Telekomunikasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995.

Pasal 11
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           31 Maret 2010

MENTERI KEUANGAN
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2010

MENTERI HUKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
            ttd
PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 153


PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 80/PMK.03/2008 TANGGAL 23 MEI 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 36/PMK.03/2007 TENTANG BATASAN RUMAH SEDERHANA, RUMAH SANGAT SEDERHANA, RUMAH SUSUN SEDERHANA, PONDOK BORO, ASRAMA MAHASISWA DAN PELAJAR SERTA PERUMAHAN LAINNYA YANG ATAS PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI




MENTERI KEUANGAN,

Menimbang       :
bahwa dalam rangka mendukung program Pemerintah untuk mewujudkan tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, berupa rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana untuk dimiliki dan untuk menyesuaikan perubahan batasan maksimum harga jual rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang diperbolehkan untuk dibeli melalui Kredit Pemilikan Rumah bersubsidi baik syariah maupun konvensional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat         :
1.         Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
2.         Peraturan Pemerintah nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 262, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4064) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 38 TAHUN 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4302);
3.         Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4.         Keputusan Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu;
5.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan      :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 36/PMK.03/2007 TENTANG BATASAN RUMAH SEDERHANA, RUMAH SANGAT SEDERHANA, RUMAH SUSUN SEDERHANA, PONDOK BORO, ASRAMA MAHASISWA DAN PELAJAR SERTA PERUMAHAN LAINNYA YANG ATAS PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.

Pasal I
Ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
Pasal 2
(1)        Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat/RSH) dan Rumah Inti Tumbuh (RIT) yang perolehannya, secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
            a.         harga jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah); dan
            b.         merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
(2)        Termasuk Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat/RSH) dan Rumah Inti Tumbuh (RIT) yang diserahkan kepada Bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang memenuhi ketentuan:
            a.         harga jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah);
            b.         dibeli oleh bank dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan
            c.         rumah tersebut harus dijual kembali kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibeli.

Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 April 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di    :           Jakarta
pada tanggal     :           23 Mei 2008

MENTERI KEUANGAN,
            ttd
SRI MULYANI INDRAWATI




1 komentar:

  1. Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM , Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, maka saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya curang dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi Salam kepada semua warga negara Indonesia, nama saya INDALH HARUM, TOLONG, saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Tuhan mendukung saya melalui ibu yang baik, LASSA JIM, Setelah beberapa waktu mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan menolak, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan Pemberi pinjaman karena saya mencari pinjaman (Rp800) setelah membayar biaya dan tidak mendapat pinjaman. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya, Harum kemudian memperkenalkan saya kepada Ny. LASSA JIM, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama ACCESS LOAN FIRM sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu LASSA, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ms. LASSA.
    Saya mengajukan pinjaman 2 miliar rupiah dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan keamanan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya katakan kepada dapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam pinjaman itu disetorkan ke rekening bank saya.
    Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah 2 miliar. Saya sangat senang bahwa Tuhan akhirnya menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberi saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi tahu Anda tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga Tuhan memberkati Mrs. LASSA JIM untuk membuat hidup saya lebih mudah, jadi saya sarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LASSA melalui email: lassajimloancompany@gmail.com

    Anda juga dapat menghubungi nomor JIM ibu LASSA whatsApp +1(301)969-1955.

    Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya adalah INDALH HARUM, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: Indalhharum@gmail.com

    BalasHapus