PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 35/PMK.03/2008
TANGGAL 26 FEBRUARI 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya
saing dan untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi industri perhiasan nasional
perlu dilakukan penyesuaian pengenaan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terhadap barang berupa perhiasan yang mengandung mutiara, intan, batu mulia
(selain intan) atau batu semi mulia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN
2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain
Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah
Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 26 Februari 2008
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TANGGAL 15 OKTOBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN
JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih
sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang nomor 5 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3568);
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986),
diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang
di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah
setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan
yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa
Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan
Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah
setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah
bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean,
melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah
melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya
menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber
daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan
tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang
membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau
badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan
yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak
yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan
Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah
tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam
Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak
karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena
suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan
dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari
pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari
Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada
makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk
jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan
adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf
c.
3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g,
dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak.
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan
jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat
berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat
iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air
serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan
uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos;
dan
q. jasa boga atau katering.
6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut
di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang
Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat
dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)
diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi
15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan
1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan
Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain.
(2) Ketentuan mengenai nilai lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat
(2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8),
ayat (13) dan ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 6
(enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4f), di antara ayat (6) dan
ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara
ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b)
sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dihapus.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak
dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus
menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun
buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat
diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak
Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum
berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan
kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai
dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang nomor 6
TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)
dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha
Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan
yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib
dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu,
penghitungan dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu)
tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu
dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan
Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
dan
j. perolehan Barang Kena Pajak selain
barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata
cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a),
ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena
Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang
belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya
diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan
Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Terutangnya
pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak
adalah pada saat pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar
ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.
(5) Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf
f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari
Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak
terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pengusaha
Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal
16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam
hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur
Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan
keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga
Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal
pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur
Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur
Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16
disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah
sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian
atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara
waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau
tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena
Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17
disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16E
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak
yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar
negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling
sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean;
dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok
Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di
negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan
Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor
Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk
keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah
Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara
renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa
pajak telah dibayar.
PASAL II
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 15 Oktober 2009
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Oktober 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH
I. UMUM
Pajak
Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean
yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan
transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak
Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat
nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola
transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul
transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan
Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
Dalam
rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan
dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi)
sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan
terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya
Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kepastian hukum dan
keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan transaksi bisnis,
terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu
ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak
Pertambahan Nilai.
Penyederhanaan sistem Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi
biaya kepatuhan.
Penyederhanaan
sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya
administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya
maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi
kepatuhan Wajib Pajak.
4. Meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya
tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib
Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5. Tidak
mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
Di
samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap
menjadi pertimbangan.
6. Mengurangi
distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup
jelas.
Angka 2
Pasal 1A
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual
beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak
atas barang.
Huruf
b
Penyerahan
Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha (leasing).
Yang
dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa
guna usaha (leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan
oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal
penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap
diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak
yang membutuhkan barang (lessee).
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan
perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat
upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang
dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang
ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk
kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi
sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang
dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan
tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri,
seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf
e
Barang
Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang
Kena Pajak.
Dikecualikan
dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1A ayat (2) huruf e.
Huruf
f
Dalam hal
suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai
pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar
tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang
dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang
dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit
pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
Huruf
g
Dalam hal
penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada
waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang
Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya,
jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk
dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan
tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak
(retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
Huruf
h
Contoh:
Dalam
transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli
sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank
syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus
membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan
B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut
dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan "makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh
Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu.
Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan
mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain
yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Dalam hal
Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik
sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak,
pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan
usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali
pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat pajak terutang.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Huruf
e
Barang
Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3
Pasal 3A
Ayat
(1)
Pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai
yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang terutang; dan
d. melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban
di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Ayat
(1a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pengusaha
kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang in!
berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Ayat
(3)
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus
dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Angka 4
Pasal 4
Ayat
(1)
Huruf
a
Pengusaha
yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha
yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan
barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan
merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf
b
Pajak
juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda
dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan
Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf
c
Pengusaha
yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan
jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa
Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah
Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
Termasuk
dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf
d
Untuk
dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena
Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai
Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha
A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki
Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh
Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
e
Jasa yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam
Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya,
Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha
B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut
terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
f
Berbeda
dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Huruf
g
Sebagaimana
halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang
melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
ayat (1).
Yang
dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak
cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau
model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di
bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau
pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3,
berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman
gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan
sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film
gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran
televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak
yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf
h
Termasuk
dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari
dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah
Pabean.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Angka 5
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
meliputi:
a. minyak mentah (crude oil);
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi
seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c. panas bumi;
d. asbes, batu tulis, batu setengah
permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar
(feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin,
leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil,
pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth),
tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi
briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas,
bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf
b
Barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam, baik yang beryodium maupun yang
tidak beryodium;
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa
diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong,
didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah,
termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah
melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula
atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar
yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas,
dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang
dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk
sayuran segar yang dicacah.
Huruf
c
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah
merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf
a
Jasa
pelayanan kesehatan medis meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan
dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli
akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin,
klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa psikolog dan psikiater; dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk
yang dilakukan oleh paranormal.
Huruf
b
Jasa
pelayanan sosial meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti
jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada
kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa
pemakaman, termasuk krematorium; dan
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang
bersifat komersial.
Huruf
c
Jasa
pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko
tempel.
Huruf
d
Jasa
keuangan meliputi:
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat
berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk
lain yang dipersamakan dengan itu;
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana,
atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar
hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan ”jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi
asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa
penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan
asuransi.
Huruf
f
Jasa
keagamaan meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan
keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf
g
Jasa
pendidikan meliputi:
1. jasa penyelenggaraan pendidikan
sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesional; dan
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar
sekolah.
Huruf
h
Jasa
kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni
dan hiburan.
Huruf
i
Jasa
penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi
yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan
dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Jasa
tenaga kerja meliputi:
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang
pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari
tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi
tenaga kerja.
Huruf
l
Jasa
perhotelan meliputi:
1. jasa penyewaan kamar, termasuk
tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas
yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara
atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf
m
Jasa yang
disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara
lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan,
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Huruf
n
Yang
dimaksud dengan ”jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat
parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada
pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
Huruf
o
Yang
dimaksud dengan ”jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta.
Huruf
p
Cukup
jelas.
Huruf
q
Cukup
jelas.
Angka 6
Pasal 5
Ayat
(1)
Atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan
Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan
bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak
antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan
tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi
atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap
produsen kecil atau tradisional; dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan
negara.
Yang
dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:
1. barang yang bukan merupakan barang
kebutuhan pokok;
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu;
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi
oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4. barang yang dikonsumsi untuk
menunjukkan status.
Pengenaan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta
tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau
hanya sekali saja.
Selain
itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian
dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang
termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit, yaitu menggabungkan
bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang
jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan
cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau
lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu
barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk
meningkatkan pemasarannya; dan
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman
atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
serta
kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang
atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
Ayat
(2)
Pengertian
umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak
dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan
demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
Penyerahan
pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Angka 7
Pasal 5A
Ayat
(1)
Dalam hal
Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena
Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan
mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah
dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang
bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang
dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan" adalah pembatalan
seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima
Jasa Kena Pajak.
Dalam hal
Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun
seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa
Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak
penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena
Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan
sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa
Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai
atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Angka 8
Pasal 7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pajak
Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu:
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang
diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk
Jasa Kena Pajak yang diserahkan Oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan
melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai
Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan
tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut
dapat dikreditkan.
Ayat
(3)
Berdasarkan
pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk
pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai
menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Angka 9
Pasal 8
Ayat
(1)
Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok
tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat
(2)
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah
Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen).
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat
(3)
Dengan
mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat
(1), pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang
mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat
pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap
barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam
hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.
Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan
setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang
membidangi keuangan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka 10
Pasal 8A
Ayat
(1)
Ayat ini
mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya
diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai
Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10%
x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor
Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat
(2)
Dasar
Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai
Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang
dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11
Pasal 9
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pembeli
Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak
yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean,
atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib
membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak
Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor
Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak
Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat
(2a)
Pada
dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan
atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
Ayat
(2b)
Untuk
keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur
Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain
itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan
kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Pajak
Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Dalam
suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta
kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Contoh:
Masa
Pajak Mei 2010
Pajak
Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat = Rp4.500.000,00
dikreditkan
-------------------
(-)
Pajak
yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa
Pajak Juni 2010
Pajak
Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak
Masukan yang dapat
dikreditkan = Rp2.000.000,00
-------------------
(-)
Pajak
yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak
yang lebih dibayar dari Masa Pajak
Mei
2010 yang dikompensasikan ke
Masa
Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00
-------------------
(-)
Pajak
yang lebih dibayar Masa Pajak
Juni
2010 = Rp1.500.000,00
Pajak
yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Ayat
(4a)
Kelebihan
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4)
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak
Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan
tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk
dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat
Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
Ayat
(4b)
Cukup
jelas.
Ayat
(4c)
Cukup
jelas.
Ayat
(4d)
Cukup
jelas.
Ayat
(4e)
Untuk
mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan
pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Ayat
(4f)
Dalam hal
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C ayat (5) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap
sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2%
(dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila
dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang
perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan
barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak
Pertambahan Nilai.
Yang
dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan
barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.
Pengusaha
Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak
dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan
yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan
Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak =
Rp25.000.000,00
Pajak
Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
c. penyerahan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp 1.500.000,00
b. Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak
yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar
Rp1.500.000,00.
Ayat
(6)
Dalam hal
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan
pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak =
Rp35.000.000,00
Pajak
Keluaran = Rp3.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang pajak =
Rp15.000.000,00
Pajak
Keluaran = nihil
Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang
berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak
Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat
diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar
Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar
Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan
pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat
(6a)
Agar
dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau
perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut
harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
Dalam hal
Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan
yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau
perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.
Ayat
(6b)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Dalam
rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor,
Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak
melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat
(7a)
Dalam
rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung
besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat
(7b)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Pajak
Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi,
untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.
Huruf
a
Ketentuan
ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak
Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan ini.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha
adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat
dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran
tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya
hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada
kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Ketentuan
ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada
tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak
Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak
dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Dalam hal
tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Huruf
i
Sesuai
dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh
kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain
itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk
melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga
sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:
Pajak
Keluaran = Rp 10.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari
hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak
Keluaran = Rp 15.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam
hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00,
tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan
demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak
Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak
Masukan = Rp 8.000.000,00
-------------------
(-)
Kurang
Bayar menurut
hasil
pemeriksaan = Rp 7.000.000,00
Kurang
Bayar menurut
Surat
Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00
-------------------
(-)
Masih
kurang dibayar = Rp 5.000.000,00
Huruf
j
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Ketentuan
ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain,
Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak
yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan
Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan
tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum
dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap
Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak
Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli
2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau
pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.
Ayat
(10)
Cukup
jelas.
Ayat
(11)
Cukup
jelas.
Ayat
(12)
Cukup
jelas.
Ayat
(13)
Cukup
jelas.
Ayat (14)
Cukup
jelas.
Angka 12
Pasal 11
Ayat
(1)
Pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip
akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum
diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic
commerce tunduk pada ketentuan ini.
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Dalam hal
orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada
saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu
dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak
dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak
terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan
saat pemanfaatan.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam hal
pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e,
saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka 13
Pasal 12
Ayat
(1)
Pengusaha
Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat
kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di
tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila
Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan
tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila
Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang
berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk
seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu
tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab
untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak
tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena
Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam
hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat
pajak terutang.
Contoh
1:
Orang
pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila
di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong.
Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A
hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun,
apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi
A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang
pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada
di Bogor dan di Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak
badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat
kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut
dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2:
PT A
mempunyai 3 (tiga) tempat Kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan
Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak,
yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha
tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan
melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A
terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A
wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di
Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab
untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat
kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam hal
PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan
sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib
memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
Ayat
(2)
Apabila
Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan
usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya
dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Orang
pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha
Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal
dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau
tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 14
Pasal 13
Ayat
(1)
Dalam hal
terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak,
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan
Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan
memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu
dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat
berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur
Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan
ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.
Ayat
(1a)
Pada
prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat
penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam
hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan
saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena
itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan
Faktur Pajak.
Ayat
(2)
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meringankan beban
administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu)
Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang
sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak
gabungan.
Ayat
(2a)
Untuk
meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat
Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah
terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Contoh
1:
Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi
sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas
penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu)
Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada
bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.
Contoh
2:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2
September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak
gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.
Contoh
3:
Pengusaha
Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada
tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28
September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan
pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober
2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur
Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010
yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada
bulan September.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Faktur
Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas,
dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan
ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum
di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf f.
Ayat
(6)
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak
dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Ketentuan
ini diperlukan, antara lain, karena:
a. faktur penjualan yang digunakan oleh
pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran
telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus
ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar
Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan
dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Faktur
Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam
pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam
pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian
Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang
wajar terjadi pada saat pengiriman.
Ayat
(9)
Faktur
Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan
benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau
persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (6).
Faktur
Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau
sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dengan
demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah
dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan
dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
Angka 15
Pasal 15A
Dalam
rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor
kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir
pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Dalam hal
terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Angka 16
Pasal 16B
Ayat
(1)
Salah satu
prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak
atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama
dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena
itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan,
harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya
tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan
dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas
perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor
kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong
perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan
nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan
perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan
prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan
wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang
telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
c. mendorong peningkatan kesehatan
masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program
imunisasi nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara
Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan
foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan
bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku
pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang
harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah
sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional
di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku
kerajinan perak;
k. menjamin terlaksananya proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l. mengakomodasi kelaziman internasional
dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam
yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
n. menjamin tersedianya air bersih dan
listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin tersedianya angkutan umum di
udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah
tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang
perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan
sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat
(2)
Adanya
perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak
dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud
tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap
terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk
memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan
Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan
pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada
waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut,
Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena
Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Jika
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat
(3)
Berbeda
dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran
sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk
memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan
Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan
pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada
waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut,
Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena
Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.
Meskipun
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada
Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas
dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak
Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Angka 17
Pasal 16 D
Penyerahan
Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan,
atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.
Namun,
Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan
bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak
dapat dikreditkan.
Angka 18
Pasal 16E
Ayat
(1)
Dalam
rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke
Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan.
Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak
di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah
Pabean.
Ayat
(2)
Barang
Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi
pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di
luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia.
Bagi
orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok
Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan
identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut
di negara yang menerbitkan paspor.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 16F
Sesuai
dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen
barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli
atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas
pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang
tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak
kepada penjual atau pemberi jasa.
PASAL II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 103/PMK.03/2009
TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
industri properti nasional perlu mengatur kembali batasan dan jenis-jenis
hunian mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
8 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 dan
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang
Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3986);
3. Peraturan Pemerintah nomor 145 TAHUN
2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 12 TAHUN
2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain
Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
137/PMK.011/2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah
Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/KMK.03/2004 tentang Jenis
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan:
a. Nomor 35/PMK.03/2008;
b. Nomor 137/PMK.011/2008;
sehingga
menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan
ini.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 10 Juni 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK
ASASI
MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 131
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 103/PMK.03/2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
DAFTAR JENIS BARANG
KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN
BERMOTOR YANG
DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN TARIF SEBESAR
20% (DUA PULUH PERSEN)
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
a.
a.1
a.2
b.
b.1
b.2
|
Kelompok
alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut
dalam Lampiran I adalah:
Tungku,
kompor, tungku terbuka, alat masak (termasuk tungku dengan ketel tambahan
untuk pemanasan sentral), panggangan besar, anglo, gelang gas, piring
pemanas, dan peralatan rumah tangga tanpa listrik semacam itu dari besi atau
baja, jenis non portable.
-
Peralatan masak dan piring pemanas:
--
Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.
-
Peralatan lainnya:
--
Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dan bahan bakar lainnya.
Lemari
pendingin
-
Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu luar terpisah,
dari tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter
-
Lemari pendingin tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi 230 liter:
--Tipe kompresi
--Tipe absorpsi, elektris
-- Lain-lain
Kelompok hunian
mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan
sejenisnya, adalah:
Rumah dan town
house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih.
Apartemen,
kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya, dengan luas
bangunan 150 m2 atau lebih.
|
ex
7321.11.00.00
ex
7321.19.00.00
ex
7321.81.00.00
ex
7321.89.00.00
ex
8418.10.10.90
ex
8418.21.00.90
ex
8418.29.00.90
ex
8418.29.00.90
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
c.
c.1
c.2
c.3
c.4
d.
d.1
|
Kelompok
pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain
yang disebut dalam Lampiran I
Aparatus
penerima untuk televisi, digabung atau tidak dengan penerima siaran radio
atau aparatus perekam atau pereproduksi suara atau video; monitor video:
-
Aparatus penerima untuk televisi berukuran di atas 43 inch
--Set
top box yang mempunyai fungsi komunikasi (ITAI/B-203)
--
PCA untuk digunakan dengan mesin ADP (ITAI/B-199)
--
Lain-lain
-
Monitor video berwarna di atas 43 inch
--
Monitor tipe FPD untuk data video dan komputer, untuk overhead
projektor(ITAI/B-200)
--
Lain-lain
-
Proyektor video:
--
mempunyai kapasitas untuk memproyeksikan pada layar berukuran 300 inci atau
lebih
--
Proyektor data video dan komputer tipe FPD (ITAI/B-200)
--
Lain-lain
Antena
dan reflektor antena dari segala jenis; selain yang digunakan untuk keperluan
penyiaran radio atau televisi, usaha jasa telekomunikasi, dan yang digunakan
untuk alat radar, alat radio pembantu navigasi dan alat radio kendali jarak
jauh.
Antena
dan reflektor antena dari segala jenis untuk penerima siaran radio atau
televisi dengan nilai impor atau harga jual Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) atau lebih per set atau per unit.
Kelompok
mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat
elektromagnetik, dan instrumen musik, selain yang disebut dalam Lampiran I.
Mesin
pengatur suhu udara, terdiri dari kipas yang digerakkan dengan motor dan
elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban udara, termasuk mesin tersebut yang
tidak dapat mengatur kelembaban udara secara terpisah.
-
Dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas pendingin di atas 2 PK
sampai dengan 3 PK
-
Dari jenis yang digunakan untuk orang, di dalam kendaraan bermotor
|
ex
8528.71.10.00
ex
8529.90.55.00
ex
8528.71.90.00
ex
8528.72.10.00
ex
8528.72.90.00
ex
8528.49.10.00
ex
8528.59.10.00
ex
8528.49.10.00
ex
8528.59.10.00
8528.69.00.00
8528.69.00.00
8528.69.00.00
ex
8529.10.99.00
ex
8529.10.99.00
ex
8415.10.10.00
8415.20.00.00
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NO
|
URAIAN
BARANG
|
NOMOR
HS
|
d.2
d.3
d.4
d.5
d.6
e.
|
Mesin
pencuci piring, dari tipe rumah tangga:
-
dioperasikan secara elektrik
-
tidak dioperasikan secara elektrik
Mesin
pengering dengan kapasitas linen kering tidak melebihi 10 kg dari jenis yang
dipakai untuk rumah tangga.
Microwave
oven
Piano
termasuk piano otomatis; harpsichord dan instrumen keyboard bersenar lainnya
-
Piano tegak
-
Grand Piano
-
Lain-lain
Instrumen
musik, dengan suara yang dihasilkan, atau harus diperkuat, secara elektrik
(misalnya : organ, gitar, akordeon).
-
Instrumen keyboard, selain akordeon
-
Lain-lain
Kelompok
wangi-wangian.
Parfum dan cairan
pewangi yang siap untuk dijual eceran dengan nilai impor atau harga jual Rp.
2.000,00 (dua ribu rupiah) atau lebih per ml.
|
8422.11.10.00
8422.11.20.00
ex
8451.21.00.00
8516.50.00.00
9201.10.00.00
9201.20.00.00
9201.90.00.00
9207.10.00.00
9207.90.00.00
ex
3303.00.00.00
|
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Salinan
sesuai dengan aslinya,
Kepala
Biro Umum
u.b.
Kepala
Bagian T.U. Departemen
ttd
Antonius
Suharto
NIP
060041107
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR
137/PMK.011/2008 TANGGAL 7 OKTOBER 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya
saing bagi industri elektronika nasional perlu dilakukan pengaturan kembali
terhadap jenis barang kena pajak berupa televisi, mesin cuci, dan kamera yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
5 dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 145 TAHUN
2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 261, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4063)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 12 TAHUN 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4619);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain
Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
620/PMK.03/2004 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN
KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Mengubah
Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008 sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 7 Oktober 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-8/PJ/2010
TANGGAL 1 MARET 2010
TENTANG
SAAT TERUTANGNYA
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG
TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA
PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang;
Mengingat :
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE
CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
ANTAR CABANG.
Pasal 1
(1) Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih dari
satu tempat pajak terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang
perusahaan, maka Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada setiap tempat pajak terutang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku dalam hal Pengusaha melakukan pemusatan tempat pajak
terutang.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
(4) Dalam hal pusat atau cabang yang
menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terutang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
(5) Saat terutangnya Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.
Pasal 2
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002 tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Dari Pusat
Ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
Antar Cabang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 3
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada tanggal : 1
Maret 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-48/PJ/2008
TANGGAL 16 DESEMBER 2008
TENTANG
TATA CARA
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 9 ayat (13) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
b. bahwa untuk meningkatkan pengamanan
penerimaan negara dengan tetap memperhatikan pelayanan prima kepada masyarakat
Wajib Pajak dan untuk memberikan kepastian hukum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3986);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4661);
4. Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN
2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang nomor 18
TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah nomor 24 TAHUN 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4199);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
193/PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan
Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Yang
Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
9. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-406/PJ/2001 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-359/PJ./2003;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai,
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha
Kena Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
3. Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu
adalah Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.
4. Pengusaha Kena Pajak Yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu adalah Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
5. Pengusaha Kena Pajak Tertentu adalah
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3 atau angka 4.
6. Kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000; atau
b. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu
Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah.
7. Permohonan pengembalian adalah
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang disampaikan oleh
Pengusaha Kena Pajak melalui:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai yang mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan (restitusi)”; atau
b. Surat permohonan tersendiri, apabila
kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
8. Surat Ketetapan Pajak adalah surat
ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
9. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
10. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana
dimaksud pada angka 5.
11. Penelitian adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.
12. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 2
(1) Permohonan pengembalian disampaikan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Permohonan pengembalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa
Pajak.
Pasal 3
(1) Permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dilengkapi dengan Faktur Pajak dan/atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang selanjutnya disebut dengan
kelengkapan permohonan pengembalian, yang terkait dengan kelebihan pembayaran
pajak.
(2) Dalam hal permohonan pengembalian
diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu, kelengkapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak wajib disampaikan.
Pasal 4
Pengujian
keabsahan kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Kebijakan Pemeriksaan Pajak.
Pasal 5
(1) Kelengkapan permohonan pengembalian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat disampaikan secara lengkap
bersamaan dengan penyampaian permohonan pengembalian, atau disusulkan setelah
disampaikannya permohonan pengembalian;
(2) Dalam hal kelengkapan permohonan
pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusulkan, Pengusaha
Kena Pajak harus menyampaikan seluruh kelengkapan permohonan pengembalian
paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.
(3) Dalam hal kelengkapan permohonan
pengembalian disusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor
Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan
pengembalian sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(4) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan pengembalian kepada
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka kelengkapan
permohonan pengembalian yang disusulkan tetap harus dilengkapi seluruhnya
paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak
menyampaikan atau kurang menyampaikan kelengkapan permohonan pengembalian dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Direktur Jenderal
Pajak melakukan pemeriksaan berdasarkan kelengkapan permohonan pengembalian
yang diterima dengan memberitahukan pemrosesan permohonan pengembalian
berdasarkan data atau dokumen yang ada sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyampaikan
kelengkapan permohonan pengembalian setelah 1 (satu) bulan sejak saat
diterimanya permohonan, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut tidak
diperhitungkan dalam pemeriksaan, keberatan, dan banding.
Pasal 6
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
permohonan diterima.
(2) Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu, harus menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 1 (satu) bulan
sejak saat diterimanya permohonan.
Pasal 7
(1) Dalam hal permohonan pengembalian yang
diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Tertentu meliputi kelebihan pembayaran
akibat kompensasi Masa Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak menjadi Pengusaha
Kena Pajak Tertentu, Direktur Jenderal Pajak wajib melakukan pemeriksaan pajak
atas SPT Masa PPN yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan
tersebut.
(2) Pengusaha Kena Pajak Tertentu yang
mengajukan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan dokumen kelengkapan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 8
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, permohonan pengembalian yang diajukan
dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus diterbitkan paling lambat 1
(satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Pasal 9
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat
melakukan pemeriksaan pajak yang meliputi semua jenis pajak.
Pasal 10
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat melakukan
pemeriksaan kepada Pengusaha Kena Pajak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 5 dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Pengusaha Kena Pajak Tertentu wajib membayar
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) atau Pasal 17D ayat (5)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.
Pasal 11
Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 9, dan Pasal 10 ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di bidang pemeriksaan.
Pasal 12
Untuk
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Masa Pajak sebelum
Masa Pajak Januari 2008 yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak atau
disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, diberlakukan ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-122/PJ./2006.
Pasal 13
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-122/PJ./2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 14
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 16 Desember 2008
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
Lampiran I
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-48/PJ/2008
Tanggal : 16 Desember 2008
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …….
(alamat, nomor
telepon dan nomor faksimili)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nomor : (tanggal,
bulan, tahun)
Sifat : Biasa
Hal : Permintaan
kelengkapan permohonan pengembalian PPN
Yth.
……………………..
…………………………….
…………………………....
Sehubungan dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak …………………. yang Saudara ajukan
dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
………………../dengan surat permohonan nomor ……………. tanggal ……….. hal ……………*), dengan
ini Saudara diminta untuk segera menyampaikan kelengkapan permohonan
pengembalian yang dipersyaratkan yakni Faktur Pajak atau dokumen yang
dipersamakan dengan Faktur Pajak yang terkait dengan kelebihan pembayaran pajak
yang Saudara ajukan paling lambat ………… (tanggal, bulan, tahun).
Apabila sampai dengan jangka waktu
tersebut berakhir Saudara tidak menyampaikan kelengkapan permohonan
pengembalian tersebut, atas permohonan pengembalian Saudara akan kami proses
sesuai dengan data yang ada/diterima.
Demikian untuk dimaklumi.
Kepala
Kantor,
…………………..
NIP.
.…………..
*) Coret
yang tidak perlu.
Lampiran II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-48/PJ/2008
Tanggal : 16 Desember 2008
DEPARTEMEN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK
KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK …………………..
KANTOR PELAYANAN
PAJAK …….
(alamat, nomor
telepon dan nomor faksimili)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nomor : (tanggal,
bulan, tahun)
Sifat : Biasa
Hal : Pemberitahuan
Pemrosesan Berdasarkan Data
Atau Dokumen yang Ada/Diterima
Yth.
……………………..
…………………………….
…………………………....
Sehubungan dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak …………. yang Saudara ajukan
dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
………………./dengan surat permohonan nomor ……………….. tanggal ………… hal ………………*), dan
menunjuk surat permintaan dokumen kelengkapan nomor …………. tanggal ………….. hal
Permintaan kelengkapan permohonan pengembalian PPN, serta mengingat sampai
dengan ………. (tanggal, bulan, tahun), Saudara **):
a. tidak menyampaikan seluruh/sebagian*)
kelengkapan permohonan pengembalian yang dipersyaratkan tersebut; dan/atau
b. menyampaikan seluruh/sebagian*)
kelengkapan permohonan pengembalian yang dipersyaratkan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
dengan
ini diberitahukan bahwa berdasarkan Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), dan ayat (4)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008, maka atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak …………. yang
Saudara ajukan tersebut kami proses hanya berdasarkan bukti-bukti atau
dokumen-dokumen yang ada atau kami terima sampai dengan jangka waktu tersebut
berakhir.
Demikian untuk dimaklumi.
Kepala
Kantor,
…………………..
NIP.
.…………..
*) Coret yang tidak perlu.
**) pilih salah satu (dalam hal PKP sudah
menyampaikan sebagian dokumen, namun sebagian lagi disampaikan setelah jangka
waktu berakhir maka tidak perlu dipilih).
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-37/PJ/2010
TANGGAL 10 MARET 2010
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-8/PJ/2010 TENTANG SAAT TERUTANGNYA PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG
MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK
YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG
Bersama
ini disampaikan salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2010
tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang Atau Sebaliknya Dan
Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Antar Cabang.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih
dari satu tempat pajak terutang, baik sebagai pusat maupun sebagai cabang
perusahaan, maka Pengusaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada setiap tempat pajak terutang, kecuali dilakukan pemusatan tempat
pajak terutang.
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
3. Dalam hal pusat atau cabang yang
menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha Kena Pajak
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, atas penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (2) belum terutang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
4. Saat terutangnya Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana
dimaksud pada angka (3) ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dari Pengusaha Kena Pajak pusat atau cabang kepada pihak lain.
5. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-428/PJ./2002
tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Dari Pusat Ke Cabang atau Sebaliknya dan
Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Maret 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar