PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR 1/PJ/2009
TANGGAL 9 JANUARI 2009
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 53/PJ/2008 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN,
PENGECUALIAN PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN ADMINISTRASI PAJAK PENGHASILAN BAGI
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI YANG AKAN BERTOLAK KE LUAR NEGERI
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan bebas Fiskal Luar Negeri bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan anggota keluarganya, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran,
Pengecualian Pembayaran dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi yang akan Bertolak ke Luar Negeri;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran dan
Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR 53/PJ/2008 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENGECUALIAN PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN ADMINISTRASI PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM
NEGERI YANG AKAN BERTOLAK KE LUAR NEGERI.
Pasal I
Ketentuan
Pasal 8 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara
Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak
Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke
Luar Negeri, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
Pengecualian
dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi yang akan bertolak ke luar
negeri dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih,
diberikan melalui pengecekan validasi NPWP oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak
yang bertugas di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri
sepanjang NPWP tersebut telah terdaftar sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari
sebelum hari keberangkatan.
b. untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak memiliki NPWP sendiri, diberikan melalui
pengecekan validasi NPWP Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya oleh
UPFLN Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas di bandar udara atau pelabuhan
laut keberangkatan ke luar negeri sepanjang NPWP tersebut telah terdaftar
sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan, dengan ketentuan bahwa
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak memiliki
NPWP sendiri dari:
b.1. Wajib Pajak yang memberikan tanggungan
sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau berstatus
sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan:
b.1.1. fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau
b.1.2. Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang
Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki
NPWP.
b.2. Wajib Pajak yang memberikan tanggungan
sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang:
b.2.1. tidak memiliki Kartu Keluarga harus
melampirkan fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status
keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang;
b.2.2. namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu
Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota keluarganya
yang disebabkan perbedaan kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen
lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi
berwenang.
c. untuk angka 1 s.d. angka 7 huruf a
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan secara langsung oleh UPFLN
Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas di bandara udara atau pelabuhan laut
keberangkatan ke luar negeri, termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun.
d. untuk angka 7 huruf b s.d. angka 13
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan melalui penerbitan SKBFLN oleh
UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut
keberangkatan ke luar negeri atau KPP yang melakukan pengelolaan FLN atau
tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal II
Mengubah
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata
Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak
Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke
Luar Negeri sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal III
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Januari 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
Lampiran
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-1/PJ/2009
Tanggal : 9 Januari 2009
TATA CARA
PENGECUALIAN PEMBAYARAN FISKAL LUAR NEGERI BAGI WAJIB
PAJAK ORANG PRIBADI
YANG AKAN BERTOLAK KE LUAR NEGERI
A. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang memiliki NPWP
1. Wajib Pajak atau penumpang tujuan luar
negeri menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding
pass ke petugas UPFLN. Dalam hal Kartu NPWP atas nama/dimiliki oleh
Kepala Keluarga, maka anggota keluarga yang ke Luar Negeri dari:
1.1. Wajib Pajak yang memberikan tanggungan
sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau berstatus
sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan:
1.1.1. fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau
1.1.2. Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang
Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki
NPWP (contoh surat pernyataan pada Lampiran IV.6).
1.2. Wajib Pajak yang memberikan tanggungan
sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang:
1.2.1. tidak memiliki Kartu Keluarga harus
melampirkan fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status
keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
1.2.2. namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu
Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota keluarganya
yang disebabkan perbedaan kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen
lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi
berwenang.
2. Petugas UPFLN menerima dan meneliti
fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass serta
fotokopi Kartu Keluarga atau surat pernyataan atau fotokopi SKSKP atau dokumen
lain, kemudian menginput NPWP pada aplikasi yang tersedia.
3. NPWP
dinyatakan valid apabila:
a. NPWP telah terdaftar sekurang-kurangnya
3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan.
b. Dalam hal NPWP telah terekam dalam
database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
Nama
Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada database Wajib Pajak pada
Direktorat Jenderal Pajak, dengan mengabaikan perbedaan tulisan/ejaan dengan
ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua)
kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat
Jenderal Pajak.
c. Dalam hal NPWP belum terekam dalam
database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
c.1. Aplikasi check digit NPWP
menunjukkan bahwa NPWP tersebut adalah benar.
c.2. Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai
dengan nama pada fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, dengan mengabaikan perbedaan
tulisan/ejaan dengan ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua)
kata, minimum 2 (dua) kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak
pada Direktorat Jenderal Pajak.
c.3. Menginput nama Wajib Pajak sesuai yang
tertera pada fotokopi NPWP/SKT/SKTS pada aplikasi.
4. Apabila NPWP dinyatakan valid, maka
petugas UPFLN menempelkan stiker Bebas Fiskal (contoh pada Lampiran IV.5) pada
bagian belakang boarding pass yang ditujukan untuk penumpang.
5. Penumpang menyerahkan boarding pass yang
telah ditempel stiker Bebas Fiskal kepada petugas konter pengecekan FLN untuk
diteliti.
6. Penumpang
tujuan luar negeri tetap wajib membayar FLN apabila:
a. NPWP terdaftar kurang dari 3 (tiga)
hari sebelum hari keberangkatan;
b. Tidak dapat menyerahkan fotokopi Kartu
NPWP/SKT/SKTS; atau
c. Menyerahkan fotokopi kartu
NPWP/SKT/SKTS namun check digit menyatakan tidak valid; atau
d. Menyerahkan fotokopi kartu
NPWP/SKT/SKTS yang dimiliki oleh Kepala Keluarga tetapi tidak melampirkan
fotokopi Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status
keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, atau melampirkan
fotokopi kartu keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status
keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang tetapi nama penumpang
tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain tersebut atau
tidak melampirkan surat pernyataan bagi orang tua yang tidak terdaftar dalam
Kartu Keluarga.
B. Bagi Wajib Pajak lainnya yang
dikecualikan.
B.1. Dibebaskan
secara langsung
Pengecualian
dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi dalam negeri yang akan
bertolak ke luar negeri yang diberikan secara langsung hanya terbatas pada
angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berusia kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun dengan cara sebagai berikut:
1. Penumpang tujuan luar negeri
menyerahkan paspor dan boarding pass ke petugas konter pengecekan FLN.
2. Petugas konter pengecekan FLN menerima
dan meneliti paspor dan boarding pass, apabila pemohon memenuhi persyaratan
yang ditentukan dalam angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berusia kurang
dari 21 (dua puluh satu) tahun, maka petugas konter pengecekan FLN membebaskan
secara langsung orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri tersebut.
3. Pemohon yang tidak memenuhi syarat
untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.
B.2. Dibebaskan
melalui penerbitan SKBFLN
Pengecualian
dari kewajiban pembayaran FLN orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke
luar negeri yang diberikan melalui penerbitan SKBFLN hanya terbatas pada angka
7 huruf b s.d. angka 13 Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
cara sebagai berikut:
1. Pemohon mengisi Formulir Permohonan
SKBFLN yang telah disediakan dan data pendukungnya untuk diserahkan ke UPFLN
Direktorat Jenderal Pajak di Bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke
luar negeri atau KPP yang melaksanakan pengelolaan FLN (contoh Formulir
Permohonan SKBFLN pada Lampiran IV.3).
2. Petugas UPFLN menerima dan meneliti
surat permohonan pada angka 1 serta mencocokkan formulir tersebut dengan data
pendukung. Apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka Petugas
menerbitkan SKBFLN serta menyerahkan lembar 1 dan 2 kepada pemohon dan lembar 3
sebagai arsip (contoh SKBFLN pada Lampiran IV.4).
3. Petugas konter pengecekan FLN
memberikan stempel tanggal saat digunakan pada SKBFLN saat penumpang akan
menuju gerbang imigrasi.
4. Pemohon yang tidak memenuhi syarat
untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.
5. Petugas UPFLN membuat laporan
penerbitan SKBFLN berdasarkan lembar 3 beserta surat permohonan dan data
pendukung sebagai arsip.
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 80 TAHUN 2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan adanya perubahan terhadap
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pengenaan
Pajak Penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang bertolak ke
luar negeri;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25
ayat (8) UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri yang Bertolak ke Luar Negeri;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM
NEGERI YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI.
Pasal 1
(1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh
satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar Pajak Penghasilan.
(2) Termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah istri, anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 2
Besarnya
Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a. Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan
menggunakan pesawat udara; dan
b. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan angkutan
laut.
Pasal 3
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku terhadap:
a. warga negara Indonesia yang bertempat
tinggal tetap di luar negeri yang memiliki dokumen resmi sebagai penduduk
Negara tersebut;
b. jemaah haji yang penyelenggaraan
ibadahnya dilakukan oleh instansi yang berwenang;
c. tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
luar negeri dalam rangka Program Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan
instansi yang berwenang;
d. orang pribadi yang melakukan perjalanan
lintas batas wilayah Republik Indonesia melalui darat;
e. penyandang cacat atau orang sakit yang
akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu)
orang pendamping, dengan persetujuan instansi yang berwenang;
f. anggota misi kesenian, misi
kebudayaan, misi keolahragaan, atau misi keagamaan yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan instansi yang berwenang;
g. mahasiswa atau pelajar yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan belajar di luar negeri dalam rangka
program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar yang diselenggarakan pemerintah
atau badan asing dengan persetujuan instansi yang berwenang;
h. mahasiswa dari negara asing yang berada
di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari perguruan tinggi
tempat mereka belajar dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia;
i. tenaga kerja asing yang bekerja di
Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun, sepanjang Pajak Penghasilannya
telah dipotong oleh pemberi kerja; atau
j. orang asing yang berada di Indonesia
dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang
melaksanakan:
1. penelitian di bidang ilmu pengetahuan
dan kebudayaan di bawah koordinasi lembaga pemerintah terkait;
2. program kerjasama teknik dengan
mendapat persetujuan Sekretariat Negara; dan/atau
3. tugas sebagai anggota misi keagamaan
dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi instansi terkait.
Pasal 4
Kewajiban
membayar Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
tidak berlaku terhadap:
a. orang asing yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
b. pejabat dari perwakilan organisasi
internasional yang tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, termasuk anggota keluarganya, dengan syarat
bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia; atau
c. pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, termasuk anggota keluarganya dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
1. bukan
warga negara Indonesia;
2. tidak menerima atau memperoleh
penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut di Indonesia; dan
3. Negara bersangkutan memberikan
perlakuan sama sesuai asas perlakuan timbal balik.
Pasal 5
(1) Pajak Penghasilan yang dibayar Wajib
Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan angsuran
pembayaran Pajak Penghasilan.
(2) Angsuran pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang pada akhir tahun yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 6
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang bertolak ke luar negeri diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN
2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Akan Bertolak
ke Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 41
TAHUN 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 2000
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Akan Bertolak ke
Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan
Pemerintah ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009 sampai dengan tanggal 31
Desember 2010.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 31 Desember 2008
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 210
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2008
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN
BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI
YANG BERTOLAK KE LUAR
NEGERI
I. UMUM
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan dalam Pasal 25 ayat (8) memerintahkan untuk mengatur lebih lanjut
mengenai Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
bertolak ke luar negeri dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini merupakan
pengganti terhadap Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 2000 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak Keluar Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 41 TAHUN 2001 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah nomor 42 TAHUN 2000 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak Keluar Negeri dan mengatur
mengenai Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar
negeri mempunyai kewajiban membayar Pajak Penghasilan. Pengaturan ini
dimaksudkan agar setiap orang pribadi dalam negeri mempunyai Nomor Pokok Wajib
Pajak dan melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, sehingga dapat meningkatkan jumlah
Wajib Pajak (ekstensifikasi) secara berkesinambungan.
Pembayaran Pajak Penghasilan
sehubungan dengan keberangkatan ke luar negeri tersebut merupakan pembayaran
pendahuluan Pajak Penghasilan yang dapat diperhitungkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “tanggungan sepenuhnya” adalah yang berdasarkan dokumen pendukung
dan hukum yang berlaku.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Dokumen
resmi yang dapat dijadikan atau diberlakukan sebagai tanda pengenal resmi
sebagai penduduk luar negeri bagi warga negara Indonesia yang bertempat tinggal
tetap di luar negeri adalah:
a. Green Card;
b. Identity Card;
c. Student Card;
d. pengesahan alamat di luar negeri pada
paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
e. surat keterangan dari Kedutaan Besar
Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah kementerian yang bertanggung
jawab di bidang keagamaan.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah kementerian yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah kementerian yang
bertanggungjawab di bidang kesehatan.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah kementerian yang bertanggung
jawab di bidang kesenian, kementerian yang bertanggung jawab di bidang
kebudayaan, kementerian yang bertanggung jawab di bidang keolahragaan, atau
kementerian yang bertanggung jawab di bidang keagamaan.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah kementerian yang bertanggung
jawab di bidang pendidikan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4952
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 208/PMK.03/2009
TANGGAL 10 DESEMBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 255/PMK.03/2008 TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA
ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR
SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN
USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB
PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN
BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih memberikan
kepastian hukum dalam pelaksanaan penghitungan besarnya angsuran Pajak
Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu perlu mengatur kembali batasan mengenai
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan yang
harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk
Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat
Laporan Keuangan Berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun
2009.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
255/PMK.03/2008 TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM
TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK,
SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK
DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN
KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK
ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU.
Pasal I
Mengubah
ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008
tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak
Berjalan yang harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna
Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan
Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak
orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai
pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada tanggal : 10
Desember 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 10 Desember 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 478
PERATURAN MENTERI
KEUANGAN
NOMOR 255/PMK.03/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PENGHITUNGAN BESARNYA
ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR
SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN
USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB
PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN
BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank,
Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM
TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK,
SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK
DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN
KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK
ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak baru adalah Wajib Pajak
orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha
atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di
bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai
tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 2
(1) Besarnya
angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan
neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
(2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat
dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal
dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari
pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan,
penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
(3) Untuk Wajib Pajak Orang pribadi baru,
jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban
membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan,
dibagi 12 (dua belas).
Pasal 3
Besarnya
angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha
dengan hak opsi adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan
terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar
atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua
belas).
Pasal 4
(1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 untuk Wajib Pajak badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan sewa
guna usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja
dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah
disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan
Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu,
dibagi 12 (dua belas).
(2) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disahkan, maka
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan
pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
terakhir tahun pajak sebelumnya.
Pasal 5
Besarnya angsuran
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala,
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang
disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk
tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Pasal 6
(1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar
0,75 % (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
(2) Ketentuan pelaksanaan angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 7
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
522/KMK.04/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa
Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
84/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR PER-10/PJ/2009
TANGGAL 11 PEBRUARI 2009
TENTANG
PENGURANGAN BESARNYA
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI
PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka meringankan likuiditas bagi Wajib Pajak dan mengantisipasi dampak
krisis keuangan global yang dapat berakibat pada perubahan keadaan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Tahun 2009 Bagi
Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha atau Kegiatan Usaha;
Mengingat :
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU
KEGIATAN USAHA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
a. Wajib Pajak yang dapat diberikan
Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah Wajib Pajak yang mengalami
perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009.
b. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan
Desember tahun 2008 adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 yang seharusnya dibayar
oleh Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 2
Wajib
Pajak dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sampai dengan 25%
(dua puluh lima persen) untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2009.
Pasal 3
(1) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dari besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 bulan Desember tahun 2008.
(2) Dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2008, pengurangan Pajak
Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dari besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak 2008.
Pasal 4
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku bagi Wajib Pajak bank, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
harus membuat laporan keuangan berkala.
Pasal 5
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang diminta disertai dengan:
a. penghitungan Pajak Penghasilan yang
terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
2008 atau penghitungan sementara Pajak Penghasilan terutang tahun pajak 2008,
dan
b. perkiraan penghitungan Pajak
Penghasilan yang akan terutang tahun 2009,
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan format sesuai Lampiran I dan Lampiran II
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi dan disampaikan paling
lama tanggal 30 April 2009.
Pasal 6
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
secara tertulis mengenai pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2009 kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 30 Juni 2009 apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa besarnya Pajak Penghasilan yang akan
terutang untuk tahun 2009 kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak
Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2009.
(2) Pengajuan permohonan pengurangan
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan perkiraan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
tahun 2009 berdasarkan:
a. penghasilan yang diterima atau
diperoleh sampai dengan bulan terakhir sebelum bulan pengajuan permohonan, dan
b. perkiraan penghasilan yang akan
diterima atau diperoleh sejak bulan pengajuan permohonan sampai dengan Desember
2009,
dengan format sesuai Lampiran I dan
Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Atas permohonan yang diajukan Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kantor Pelayanan Pajak melakukan
evaluasi dengan format sesuai Lampiran IV dengan mempertimbangkan kondisi Wajib
Pajak di tahun 2009.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan surat keputusan tentang besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa
Pajak Juli sampai dengan Desember 2009 berdasarkan hasil evaluasi, paling lama
15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterima lengkap, dengan format sesuai Lampiran V yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan
tersebut paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir.
Pasal 7
Dalam hal
Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Wajib Pajak membayar Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2009 sebesar
Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 8
Wajib
Pajak yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-537/PJ./2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak
Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu dapat mengajukan permohonan pengurangan
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai ketentuan dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak tersebut.
Pasal 9
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Pebruari 2009
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-22/PJ/2008
TANGGAL 21 MEI 2008
TENTANG
TATA CARA PEMBAYARAN
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
DIREKTUR JENDERAL
PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, dipandang perlu untuk
memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban
perpajakannya;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
Berdasarkan Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 182/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan
Masa Bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa
Masa Pajak dalam Satu Surat Pemberitahuan Masa;
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata
Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran
dan Penundaan Pembayaran Pajak;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 25.
Pasal 1
(1) Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3a) Undang-Undang
nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007
yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus
dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(4) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 2
Pembayaran
Pajak dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line.
Pasal 3
(1) Pembayaran pajak harus dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(2) SSP atau sarana administrasi lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang
atau apabila telah mendapatkan validasi.
(3) SSP atau sarana administrasi lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sah apabila telah divalidasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
(4) Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)
adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui
Modul Penerimaan Negara (MPN).
(5) Modul Penerimaan Negara (MPN) adalah
modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan,
penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan
pelaporan yang berhubungan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran
PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan SSP
nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan
tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
(2) Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh
Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain
rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat
validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh
Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan:
a. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
tetapi belum melewati batas akhir pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang nomor 6 TAHUN
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007; atau
b. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
dan pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2a) dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.
Pasal 5
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 21 Mei 2008
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-23/PJ/2010
TANGGAL 23 FEBRUARI 2010
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 208/PMK.03/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 255/PMK.03/2008 TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB
PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA,
BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG
BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
Sehubungan
dengan telah disahkan dan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
208/PMK.03/2009 tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh
Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak
Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala
Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, dengan ini disampaikan
fotokopi Peraturan Menteri Keuangan dimaksud.
Hal yang
mengalami perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009
adalah ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
255/PMK.03/2008, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak
orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai
pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 23 Februari 2010
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-33/PJ/2009
TANGGAL 23 MARET 2009
TENTANG
HAL-HAL YANG HARUS
DIPERHATIKAN SEHUBUNGAN DENGAN DITETAPKANNYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-10/PJ/2009 TENTANG PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU
KEGIATAN USAHA
Sehubungan
dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-10/PJ/2009 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam
Tahun 2009 Bagi Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha atau
Kegiatan Usaha, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Yang dimaksud dengan perubahan keadaan
usaha atau kegiatan usaha adalah perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha
yang terjadi karena penurunan usaha di tahun 2009.
b. Pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak berlaku bagi:
1) Wajib Pajak Bank;
2) BUMN/BUMD;
3) Wajib Pajak masuk bursa;
4) Wajib Pajak lainnya,
yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan
keuangan berkala.
c. Pengurangan PPh Pasal 25 sampai dengan
25% (dua puluh lima persen) untuk masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009
adalah sebagai berikut:
1) Pengurangan PPh Pasal 25 dihitung dari:
a) besarnya PPh Pasal 25 bulan Desember
tahun 2008; atau
b) besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun pajak 2008
dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008.
2) PPh Pasal 25 bulan Desember tahun 2008
adalah PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak untuk masa pajak
Desember 2008, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT
Tahunan PPh tahun pajak 2008 setelah pemberitahuan tertulis disampaikan maka
pengurangan PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun
pajak 2008 tersebut.
4) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk
masa pajak sebelum pemberitahuan tertulis disampaikan lebih besar dari besarnya
PPh Pasal 25 dengan pengurangan, atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 dapat
dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya setelah pemberitahuan
tertulis disampaikan.
5) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk
masa pajak sebelum pemberitahuan tertulis disampaikan lebih kecil dari besarnya
PPh Pasal 25 dengan pengurangan, atas kekurangan pembayaran PPh Pasal 25
diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai ketentuan yang berlaku umum.
6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar
menunda penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf
c angka 5) untuk masa pajak sebelum pemberitahuan tertulis disampaikan atau
masa pajak sampai dengan masa pajak April 2009, untuk memberi kesempatan bagi
Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis tentang besarnya PPh Pasal 25.
7) Kantor Pelayanan Pajak tidak melakukan
evaluasi atas pemberitahuan tertulis ini namun menjadikan data yang disampaikan
Wajib Pajak sebagai perkiraan penurunan kondisi usaha atau kegiatan Wajib Pajak
di tahun 2009.
8) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan
pemberitahuan tertulis tentang pengurangan besarnya PPh Pasal 25 untuk masa
pajak Januari sampai dengan Juni 2009 melebihi 25% (dua puluh lima persen) maka
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 yang dapat diberikan adalah 25% (dua puluh
lima persen).
d. Pengurangan besarnya PPh Pasal 25 untuk
masa pajak Juli sampai dengan Desember 2009 adalah sebagai berikut:
1) Permohonan pengurangan besarnya PPh
Pasal 25 dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa besarnya
PPh yang akan terutang untuk tahun 2009 kurang dari 75% (tujuh puluh lima
persen) dari PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh
Pasal 25 masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009.
2) PPh yang terutang yang menjadi dasar
perhitungan besarnya PPh Pasal 25 masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009
pada butir 1 huruf d angka 1) adalah sebagai berikut:
a) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan
pemberitahuan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sampai dengan 25% untuk masa
pajak Januari sampai dengan Juni 2009, PPh terutang adalah PPh terutang yang
menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 25 dengan pengurangan.
b) Dalam hal Wajib Pajak tidak
menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya PPh Pasal 25, PPh terutang
adalah PPh terutang yang menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 25 masa pajak
terakhir sebelum permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 diajukan.
3) Permohonan pengurangan besarnya PPh
Pasal 25 diajukan paling lama tanggal 30 Juni 2009 kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
4) Evaluasi atas permohonan pengurangan
besarnya PPh Pasal 25 dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a) Besarnya PPh Pasal 25 masa pajak
Januari sampai dengan Juni 2009;
b) Perkiraan penghitungan besarnya PPh
yang akan terutang tahun 2009 berdasarkan data yang telah disampaikan Wajib
Pajak.
5) Hasil evaluasi dapat berupa PPh Pasal
25 yang lebih besar atau lebih kecil dari PPh Pasal 25 masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2009 sesuai kondisi Wajib Pajak di tahun 2009.
6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
menerbitkan surat keputusan berdasarkan hasil evaluasi kepada Wajib Pajak
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan Wajib Pajak diterima
lengkap.
7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada butir 1 huruf d angka 6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tetap harus menerbitkan Surat Keputusan tersebut paling
lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah jangka waktu tersebut terlampaui.
e. Wajib Pajak yang mengalami perubahan
keadaan usaha atau kegiatan usaha yang terjadi karena penurunan usaha di tahun
2009 dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran
Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu tetap dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sesuai ketentuan dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak tersebut meskipun Wajib Pajak tersebut telah mendapat
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
f. Ketentuan ini berlaku hanya pada tahun
2009 sehingga bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun takwim
2009 agar menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar
memperhatikan tata cara Pemberitahuan Pengurangan PPh Pasal 25 untuk masa pajak
Januari sampai dengan Juni 2009 sesuai Lampiran I dan tata cara Permohonan Pengurangan
PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli sampai dengan Desember 2009 sesuai Lampiran
II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian
untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 23 Maret 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
SURAT EDARAN DIRJEN
PAJAK
NOMOR SE-77/PJ/2010
TANGGAL 12 JULI 2010
TENTANG
PENGAWASAN ATAS
PELAKSANAAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGUSAHA TERTENTU
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, dengan ini disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu (WP OPPT) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat
usaha.
2. Pedagang Pengecer sebagaimana dimaksud
pada butir 1 adalah orang pribadi yang melakukan:
a. penjualan
barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan
jasa,
melalui suatu tempat usaha.
3. WP OPPT wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha tersebut
(diterbitkan NPWP cabang) dan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal Wajib Pajak.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 3 juga berlaku dalam hal tempat usaha dan tempat tinggal WP OPPT berada
dalam wilayah kerja KPP yang sama.
5. Dalam hal tempat tinggal WP OPPT
sekaligus juga merupakan tempat usaha WP OPPT, terhadap WP OPPT tersebut hanya
diterbitkan NPWP domisili (tidak perlu diterbitkan NPWP cabang).
6. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 untuk WP OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran
bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
7. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25
sebagaimana dimaksud pada butir 6 dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank
Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
yang mencantumkan NPWP dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 3 dan butir 4.
8. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25
sebagaimana dimaksud pada butir 7 merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
9. WP OPPT yang melakukan pembayaran
angsuran PPh Pasal 25 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, dianggap telah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang
tercantum pada Surat Setoran Pajak.
10. WP OPPT dengan jumlah angsuran PPh Pasal
25 Nihil atau yang melakukan pembayaran tetapi tidak mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11. Dalam hal WP OPPT tidak melakukan usaha
sebagai Pedagang Pengecer di tempat tinggalnya maka WP OPPT tersebut tidak
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 di KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal.
12. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang
sebelumnya tidak termasuk WP OPPT tapi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 termasuk sebagai WP OPPT maka angsuran PPh Pasal 25
sejak Masa Pajak Juli 2010 mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir
6.
13. Pembayaran PPh Pasal 25 yang dilakukan:
a. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
tetapi belum melewati batas akhir pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang nomor 6 TAHUN
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; atau
b. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
dan pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2a) dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
14. WP OPPT yang tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal jatuh tempo pelaporan,
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
15. Dalam rangka pengawasan terhadap
pelaksanaan kewajiban PPh Pasal 25 WP OPPT, dengan ini ditegaskan hal-hal
sebagai berikut:
a. KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat usaha WP OPPT harus melakukan:
1) sosialisasi Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan
Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
2) penyisiran tempat-tempat usaha yang
memenuhi kriteria WP OPPT di wilayah kerjanya masing-masing;
3) himbauan kepada WP OPPT untuk
melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran PPh Pasal 25 WP OPPT dengan format
Surat Himbauan sebagaimana lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
4) penerbitan STP kepada WP OPPT yang
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal
jatuh tempo pelaporan untuk menagih sanksi administrasi berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
5) pengiriman alat keterangan atas
pembayaran angsuran PPh Pasal 25 WP OPPT selama 1 (satu) Tahun Pajak kepada KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal WP OPPT.
b. KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal WP OPPT melakukan equalisasi terhadap alat keterangan yang
diterima dengan data SPT Tahunan PPh WP OP yang disampaikan WP OPPT yang
bersangkutan.
c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak diminta untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Pengenaan PPh Pasal
25 Bagi WP OPPT oleh KPP yang berada di wilayah kerjanya.
Demikian
untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 12 Juli 2010
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN
SURAT
EDARAN NOMOR SE-77/PJ/2010 TENTANG PELAKSANAAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 25 BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
(Kop Surat Kantor
Pelayanan Pajak)
_____________________________________________________________________________________
Nomor :
Sifat : Segera
Hal : Himbauan
Yth.
………………(Nama Wajib Pajak)……….
………….(alamat)
……………………………..
NPWP : …………………………………………
Ucapan terima kasih dan penghargaan
kami sampaikan atas kesadaran dan kepedulian Saudara untuk memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) yang merupakan sarana administrasi perpajakan untuk
melaksanakan kewajiban perpajakan maupun mendapatkan hak Saudara sebagai Wajib
Pajak. Pelaksanaan kewajiban perpajakan yang Saudara lakukan merupakan bentuk
partisipasi langsung dalam membiayai pembangunan nasional yang menjadi tanggung
jawab kita bersama sebagai bangsa.
Perpajakan di Indonesia menganut
sistem self assessment yang memberi kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan cara menghitung, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang. Adapun kewajiban Saudara selaku Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu antara lain membayar angsuran PPh Pasal
25 sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto
setiap bulan dari masing-masing tempat usaha paling lambat setiap tanggal 15
bulan berikutnya.
Dalam hal Saudara belum melaksanakan
kewajiban perpajakan dan untuk menghindari sanksi yang akan memberatkan
Saudara, dengan ini Kami himbau agar Saudara segera membayar angsuran pajak
yang menjadi kewajiban Saudara sesuai dengan kondisi usaha Saudara.
Untuk bantuan dan informasi dalam rangka
memenuhi kewajiban perpajakan, Saudara dapat menghubungi Account Representative
kami yaitu …………….no. telp……………. Petugas kami dengan siap dan senang hati akan
membantu, atau silahkan mengunjungi Home Page Direktorat Jenderal Pajak dengan
alamat http://www.pajak.go.id atau Kring Pajak 500200.
Kepedulian dan peran aktif Saudara
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sangat menentukan dalam kemandirian
pembangunan bangsa. Terima kasih atas peran serta Saudara.
Kepala
Kantor,
Nama
NIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar